BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
belakang masalah
Belajar pada hakikatnya
adalah sebuah proses yang dialami oleh setiap individu dalam hidupnya.Proses
belajar bertujuan untuk menghasilkan adanya perubahan perilaku dari seorang
individu.
Dalam
kehidupan manusia setiap harinya selalu ada hal baru,ilmu baru dan pengalaman
baru yang didapat oleh manusia,berarti secara tidak langsung setiap manusia
mengalami sebuah proses yang sering dikenal dengan proses belajar.Dari anak
kecil sampai orang dewasa,semuanya mengalami proses belajar.Seorang bayi yang
semula belum bisa berjalan,setiap hari dia berusaha untuk dapat berjalan
seperti orang-orang disekitarnya yang bisa berjalan hingga akhirnya dia bisa
berjalan.Begitu juga dengan seorang anak yang semula tidak dapat membaca,karena
dia mengalami sebuah proses belajar untuk dapat membaca sehingga dia akhirnya
dapat membaca.
Berbagai teori mengenai belajar bermunculan,mulai
dari teori belajar behavioristik,kognitif sampai teori belajar konstruktif.
Pada kesempatan kali ini kami akan membahas lebih dalam mengenai teori belajar
konstruktivisme. Kami juga
akan membandingkan teori belajar ini dengan teori yang lainnya,hingga dapat
menyimpulkan apakah teori belajar ini masih relevan untuk diterapkan dalam pembelajaran
saat ini.
B. Rumusan
masalah
1. Apa
hakekat belajar yang sebenarnya?
2. Bagaimana
pandangan teori belajar konstruktivisme mengenai belajar?
3. Bagaimana
asumsi teori belajar kontruktivisme mengenai belajar?
4. Apa
saja strategi yang diterapkan dalam proses belajar dengan teori kontruktivisme?
5. Apakah
teori belajar kontruktivisme relevan untuk diterapkan pada sistem pembelajaran
saat ini (kurikulum 2013) ?
C. Tujuan
penulisan
1. Mengetahui
apa hakikat belajar yang sebenarnya
2. Mengetahui
bagaimana pandangan teori belajar kontruktivisme mengenai belajar
3. Mengetahui
bagaimana asumsi teori belajar kontruktivisme mengenai belajar
4. Mengetahui apa saja strategi yang diterapkan dalam
proses belajar dengan teori kontruktivisme
5. Mengetahui
apakah teori belajar kontruktivisme relevan untuk diterapkan pada sistem
pembelajaran saat ini (kurikulum 2013)
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Hakekat
Belajar
Beberapa ahli
mengemukakan teorinya mengenai hakikat belajar, diantaranya Gage dan Berliner
(1982),Morgan et al (1986), Slavin (1994),dan Gagne (1977).Diantara beberapa
teori yang ada,kami memilih teori Gagne untuk dibahas lebih lanjut dalam
laporan ini, alasannya karena teori Gagne ini adalah teori yang paling cocok
dengan pandangan atau persepsi kami mengenai hakekat belajar.
Menurut Gagne
(1977:3) Belajar merupakan perubahan disposisi atau kecakapan manusia yang
berlangsung selama periode waktu tertentu, dan perubahan perilaku tersebut
tidak berasal dari proses pertumbuhan. Maksud dari teori Gagne ini, Belajar
merupakan sebuah perkembangan kemampuan manusia yang berlangsung dalam jangka
waktu tertentu dan hal tersebut tidak dipengaruhi oleh proses pertumbuhan
melainkan dipengaruhi oleh sebuah proses pengalaman.
Terdapat
beberapa konsep utama didalam teori Belajar yang dikemukakan oleh Gagne
diantaranya :
·
Belajar
berkaitan dengan perubahan perilaku
Belajar
dikatakan berkaitan dengan perubahan perilaku karena tujuan dari proses belajar
sendiri adalah adanya perubahan perilaku dari seorang individu. Misalnya
seorang anak yang semula tidak dapat menulis, menjadi bisa menulis setelah
mengalami sebuah prses yang dinamakan belajar. Hal tersebut menandakan adanya
perubahan perilaku dari seorang anak yang semula tidak dapat menulis menjadi
bisa menulis.
·
Perubahan
perilaku tersebut didahului karena adanya proses pengalaman
Perubahan
perilaku serang individu karena belajar didahului oleh sebuah proses
pengalaman. Tidak mungkin seorang anak yang semula tidak dapat menulis
tiba-tiba dia dapat menulis tanpa melalui sebuah proses atau pengalaman. Dia
bisa menulis karena pengalaman yang dia alami secara terus menerus sehingga
pada akhirnya dia bisa menulis.
·
Perubahan
perilaku karena belajar bersifat relative permanen
Perubahan
perilaku yang terjadi karena proses belajar bersifat relative permanen, maksudnya
perubahan perilaku pada karena proses belajar antara individu yang satu dengan
yang lainnya tidaklah sama dan biasanya perubahan perilaku tersebut akan
bertahan dalam kurun waktu yang cukup lama. Misalnya cara seseorang mengenakan
pakaian akan berbeda satu sama lain.
Menurut Gagne,beberapa unsur yang ada dalam proses
belajar diantaranya :
·
Peserta didik
Peserta didik
yang dimaksud disini adalah individu-individu yang mengalami sebuah proses yang
dinamakan proses belajar.peserta didik ini memiliki organ penginderaan yang
digunakan untuk menangkap segala jenis rangsangan dan juga memiliki otak yang
dapat mentransformasikan hasil penginderaan kedalam memori yang kompleks.
·
Memori
Memori merupakan
berbagai kemampuan yang berupa pengetahuan, keterampilan, dan sikap dimiliki
oleh peserta didik yang dihasilkan dari kegiatan belajar sebelumnya.
·
Rangsangan(Stimulus)
Kegiatan-kegiatan
yang merangsang penginderaan peserta didik disebut stimulus. Agar peserta didik
mampu belajar optimal, maka ia harus memfokuskan pada stimulus tertentu yang ia
minati.
·
Respon
Respon merupakan
aktualisasi dari memori, sehingga dapat dikatakan bahwa respon merupakan hasil
dari proses belajar.
Jika
teori Gagne ini dianalogikan didalam ilmu kimia, maka dapat dikatakan bahwa belajar
itu sama halnya dengan sebuah reaksi kimia :
Peserta didik + Memori à
Respon
Peserta didik dan memori
diibaratkan sebagai reaktan (zat yang menalami reaksi) dalam hal ini yang
mengalami sebuah proses belajar.
kemudian
stimulus sebagai katalisator,katalisator
dalam sebuah reaksi kimia adalah zat yang berperan untuk mempercepat jalannya
suatu reaksi,dalam hal ini adanya stimulus diperlukan untuk memperlancar dan
mempercepat tercapainya suatu tujuan dari proses belajar.
Respon sebagai produk dari reaksi kimia
, yaitu sesuatu yang dihasilkan dari sebuah proses belajar yakni adanya
perubahan sikap dari seorang individu setelah mengalami proses belajar.
B.
Teori
Belajar Konstruktivisme
Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu
tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan teori
behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik
antara stimulus dan respon, sedangkan teori kontruktivisme lebih memahami
belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan
memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamannya. Pengetahuan tidak bisa ditransfer dari
guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skema sendiri tentang apa
yang diketahuinya. Pembentukan pengetahuan merupakan proses kognitif dimana
terjadi proses asimilasi dan akomodasi untuk mencapai suatu keseimbangan
sehingga terbentuk suatu skema yang baru.
Teori
konstruktivisme juga mempunyai pemahaman tentang belajar yang lebih menekankan
pada proses daripada hasil. Hasil belajar sebagai tujuan dinilai penting,
tetapi proses yang melibatkan cara dan strategi dalam belajar juga dinilai
penting. Dalam proses belajar, hasil belajar, cara belajar, dan strategi
belajar akan mempengaruhi perkembangan tata pikir dan skema berpikir seseorang.
Sebagai upaya memperoleh pemahaman atau pengetahuan, siswa ”mengkonstruksi”
atau membangun pemahamannya terhadap fenomena yang ditemui dengan menggunakan
pengalaman, struktur kognitif, dan keyakinan yang dimiliki.
Dengan
demikian, belajar menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal,
akan tetapi proses mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan
bukanlah hasil ”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari
proses mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu. Pengetahuan hasil dari
”pemberian” tidak akan bermakna. Adapun pengetahuan yang diperoleh melalui proses
mengkonstruksi pengetahuan itu oleh setiap individu akan memberikan makna
mendalam atau lebih dikuasai dan lebih lama tersimpan/diingat dalam setiap
individu.
C.
Asumsi
Belajar Menurut Teori Belajar Kontruktivisme
1. Belajar
lebih dari sekedar mengingat
2. Belajar
merupakan sebuah proses kontruksi pengetahuan di dalam memori seseorang
3. Setiap
orang memiliki konsep dalam dirinya sendiri terkait dengan suatu pengetahuan
4. Pengetahuan
tersebut dikontruksikan melalui interaksi dengan lingkungan
D.
Pandangan
Belajar Teori Belajar Konstruktivisme
1. Pengetahuan
secara fisik dikonstruksikan oleh peserta didik yang terlibat secara aktif
2. Pengetahuan
secara simbolik dikonstruksikan oleh peserta didik yang membuat representasi
atas kegiatannya sendiri
3. Pengetahuan
secara sosial dikonstruksikan oleh peserta didik yang menyampaikan maknanya
kepada orang lain
4. Pengetahuan
secara teoritik dikonstruksikan oleh peserta didik yang mencoba menjelaskan
objek yang tidak benar-benar dipahaminya
E. Langkah-Langkah Pembelajaran
Kontrutivisme
1. Identifikasi tujuan. Tujuan dalam
pembelajaran akan memberi arah dalam merancang program, implementasi program
dan evaluasi.
2. Menetapkan Isi Produk Belajar. Pada
tahap ini, ditetapkan konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang mana yang harus
dikuasai siswa.
3. Identifikasi dan Klarifikasi
Pengetahuan Awal Siswa. Identifikasi pengetahuan awal siswa dilakukan melalui
tes awal, interview klinis dan peta konsep.
4. Identifikasi dan Klarifikasi
Miskonsepsi Siswa. Pengetahuan awal siswa yang telah diidentifikasi dan diklarifikasi
perlu dianalisa lebih lanjut untuk menetapkan mana diantaranya yang telah
sesuai dengan konsepsi ilmiah, mana yang salah dan mana yang miskonsepsi.
5. Perencanaan Program Pembelajaran dan
Strategi Pengubahan Konsep. Program pembelajaran dijabarkan dalam bentuk satuan
pelajaran. Sedangkan strategi pengubahan konsepsi siswa diwujudkan dalam bentuk
modul.
6. Implementasi Program Pembelajaran
dan Strategi Pengubahan Konsepsi. Tahapan ini merupakan kegiatan aktual dalam
ruang kelas. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah yaitu : (a) orientasi dan
penyajian pengalaman belajar, (b)menggali ide-ide siswa, (c) restrukturisasi
ide-ide.
7. Evaluasi. Setelah berakhirnya
kegiatan implementasi program pembelajaran, maka dilakukan evaluasi terhadap
efektivitas model belajar yang telah diterapkan.
8. Klarifikasi dan analisis miskonsepsi
siswa yang resisten. Berdasarkan hasil evaluasi perubahan miskonsepsi maka
dilakukaan klarifikasi dan analisis terhadap miskonsepsi siswa, baik yang dapat
diubah secara tuntas maupun yang resisten.
9. Revisi strategi pengubahan
miskonsepsi. Hasil analisis miskonsepsi yang resisten digunakan sebagai
pertimbangan dalam merevisi strategi pengubahan konsepsi siswa dalam bentuk
modul.
F. Implementasi Pendekatan Kontruktivisme dalam Kegiatan
Pembelajaran
1.
Belajar aktif ( Active Learning)
2.
Siswa terlibat dalam aktivitaspembelajaran yang
bersifat otentik dan situasional
3.
Aktivitas belajar harus menarik dan menantang
4.
Siswa harus dapat mengaitkan informasi baru dengan
informasi yang telah dimiliki sebelumnya dalam sebuah proses yang disebut
“Bridging”
5.
Siswa harus mampu merefleksikan pengetahuan yang
sedang dipelajari
6.
Guru harus lebih banyak berperan sebagai fasilitator
yang dapat membantu siswa dalam melakukan konstruksi pengetahuan. Dalam hal
ini, guru tidak lagi hanya sekadar berperan sebagai penyaji informasi.
7.
Guru harus dapat member bantuan berupa scaffolding
yang diperlukan oleh siswa dalam menempuh proses belajar
G. Desain Sistem Pembelajaran Kontruktivisme
1.
Situasi
Komponen ini menggambarkan secara komprehensif tentang
maksud atau tujuan dilaksanakannya aktivitas pembelajaran.
2.
Pengelompokan
Komponen pengelompokan dalam akttivitas pembelajaran
berbasis pendekatan kontruktivis memberi kesempatan kepada siswa untuk
melakukan interaksi dengan sejawat.
3.
Pengaitan
Komponen pengaitan dilakukan untuk menghubungkan
pengetahuan yang dimiliki oleh siswa dengan pengetahuan yang baru.
4.
Pertanyaan
Pengajuan pertanyaan merupakan hal penting dalam
pembelajaran. Pertanyaan akan memunculkan gagasan asli, sehingga siswa dapat membangun
pengetahuan didalam dirinya.
5.
Eksibisi
Komponen eksibisi dalam pembelajaran yang menggunakan
pendekatan konstruktivistik member kesempatan kepada siswa untukdapat
menunjukkan hasil belajara setelah mengikuti suatu pengalaman belajar.
6.
Refleksi
Komponen ini pada dasaranya member kesempatan kepada
guru dan siswa untuk berfikir kritis tentang pengalaman belajar yang telah
mereka tempuh baik personal maupun kolektif.
H. Prinsip-Prinsip Konstruktivisme
Secara garis besar, prinsip-prinsip
Konstruktivisme yang diterapkan dalam belajar mengajar adalah:
1. Pengetahuan dibangun oleh siswa
sendiri
2. Pengetahuan tidak dapat dipindahkan
dari guru kepada murid,
kecuali hanya dengan keaktifan murid sendiri untuk bias menalar.
3. Murid aktif megontruksi secara terus
menerus, sehingga selalu terjadi perubahan konsep ilmiah.
4. Guru hanya sekadar membantu menyediakan saran dan
situasi agar proses kontruksi berjalan lancar.
5. Menghadapi masalah yang relevan
dengan siswa
6. Struktur pembalajaran seputar konsep
utama pentingnya sebuah pertanyaan
7. Mencari dan menilai pendapat siswa
8. Menyesuaikan kurikulum untuk
menanggapi anggapan siswa.
Dari
semua itu hanya ada satu prinsip yang paling penting adalah guru tidak boleh
hanya semata-mata memberikan pengetahuan kepada siswa. Siswa harus membangun
pengetahuan didalam benaknya sendiri. Seorang guru dapat membantu proses ini
dengan cara-cara mengajar yang membuat informasi menjadi sangat bermakna dan
sangat relevan bagi siswa, dengan memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menemukan atau menerapkan sendiri ide-ide dan dengan mengajak siswa agar
menyadari dan menggunakan strategi-strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru
dapat memberikan tangga kepada siswa yang mana tangga itu nantinya dimaksudkan
dapat membantu mereka mencapai tingkat penemuan.
I. Hakikat
Anak Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Piaget mengemukakan
bahwa pengetahuan tidak diperoleh secara pasif oleh seseorang, melainkan
melalui tindakan. Bahkan, perkembangan kognitif anak bergantung pada seberapa
jauh mereka aktif memanipulasi dan berinteraksi dengan lingkungannya.
Sedangkan, perkembangan kognitif itu sendiri merupakan proses berkesinambungan
tentang keadaan ketidak-seimbangan dan keadaan keseimbangan (Poedjiadi, 1999:
61).
Dari pandangan Piaget
tentang tahap perkembangan kognitif anak dapat dipahami bahwa pada tahap
tertentu cara maupun kemampuan anak mengkonstruksi ilmu berbeda-beda
berdasarkan kematangan intelektual anak berkaitan dengan anak
dan lingkungan belajarnya menurut pandangan konstruktivisme.
Driver dan Bell (dalam
Susan, Marilyn dan Tony, 1995: 222) mengajukan karakteristik sebagai berikut:
1.
Siswa
tidak dipandang sebagai sesuatu yang pasif melainkan memiliki tujuan.
2.
Belajar
mempertimbangkan seoptimal mungkin proses keterlibatan siswa.
3.
Pengetahuan
bukan sesuatu yang datang dari luar melainkan dikonstruksi secara personal.
4.
Pembelajaran
bukanlah transmisi pengetahuan, melainkan melibatkan pengaturan situasi kelas.
5.
Kurikulum
bukanlah sekedar dipelajari, melainkan seperangkat pembelajaran, materi, dan
sumber.
Pandangan tentang anak
dari kalangan konstruktivistik yang lebih mutakhir yang dikembangkan dari teori
belajar kognitif. Piaget
menyatakan bahwa ilmu pengetahuan dibangun dalam pikiran seorang anak dengan
kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya. Belajar merupakan proses aktif untuk
mengembangkan skemata sehingga pengetahuan terkait bagaikan jaring laba-laba
dan bukan sekedar tersusun secara hirarkis (Hudoyo, 1998: 5).
Dari pengertian di
atas, dapat dipahami bahwa belajar adalah suatu aktivitas yang berlangsung
secara interaktif antara faktor intern pada diri pembelajar dengan faktor
ekstern atau lingkungan, sehingga melahirkan perubahan tingkah laku.
Berikut adalah tiga
dalil pokok Piaget dalam kaitannya dengan tahap perkembangan intelektual atau
tahap perkembangan kognitif atau biasa jugaa disebut tahap perkembagan mental.
Ruseffendi (1988: 133) mengemukakan:
Perkembangan
intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan
urutan yang sama. Maksudnya, setiap manusia akan mengalami urutan-urutan
tersebut dan dengan urutan yang sama,tahap-tahap tersebut didefinisikan sebagai
suatu cluster dari operasi mental (pengurutan, pengekalan, pengelompokan,
pembuatan hipotesis dan penarikan kesimpulan) yang menunjukkan adanya tingkah
laku intelektual, dan gerak
melalui tahap-tahap tersebut dilengkapi oleh keseimbangan (equilibration),
proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman
(asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul (akomodasi).
Berbeda dengan
kontruktivisme kognitif ala Piaget, konstruktivisme sosial yang dikembangkan
oleh Vigotsky adalah bahwa belajar bagi anak dilakukan dalam interaksi dengan
lingkungan sosial maupun fisik. Penemuan atau discovery dalam belajar lebih
mudah diperoleh dalam konteks sosial budaya seseorang (Poedjiadi, 1999: 62).
Dalam penjelasan lain Tanjung (1998: 7) mengatakan bahwa inti konstruktivis
Vigotsky adalah interaksi antara aspek internal dan ekternal yang penekanannya
pada lingkungan sosial dalam belajar.
Adapun implikasi dari
teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63)
adalah sebagai berikut:
1.
Tujuan
pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu
atau anak yang memiliki kemampuan berfikir untuk menyelesaikan setiap persoalan
yang dihadapi.
2.
Kurikulum
dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan
pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu,
latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan
menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari, dan,
3.
Peserta
didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi
dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang
membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri
peserta didik.
J.
Hakikat
Pembelajaran Menurut Teori Belajar Konstruktivisme
Menurut teori belajar
konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran
guru ke pikiran siswa. Artinya, bahwa siswa harus aktif secara mental membangun
struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya.
Dengan kata lain, siswa tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap
diisi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru.
Sehubungan dengan hal
di atas, Tasker (1992: 30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori belajar
konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna. Kedua adalah pentingya membuat
kaitan antara gagasan dalam pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah
mengaitkan antara gagasan dengan informasi baru yang diterima.
Selain penekanan dan
tahap-tahap tertentu yang perlu diperhatikan dalam teori belajar konstruktivisme,
Hanbury (1996: 3) mengemukakan sejumlah aspek dalam kaitannya dengan
pembelajaran, yaitu:
·
Siswa
mengkonstruksi pengetahuan dengan cara mengintegrasikan ide yang mereka miliki.
·
Pembelajaran
menjadi lebih bermakna karena siswa mengerti.
·
Strategi
siswa lebih bernilai, dan
·
Siswa
mempunyai kesempatan untuk berdiskusi dan saling bertukar pengalaman dan ilmu
pengetahuan dengan temannya.
Dalam upaya
mengimplementasikan teori belajar konstruktivisme, Tytler (1996: 20) mengajukan
beberapa saran yang berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut:
v Memberi kesempatan
kepada siswa untuk mengemukakan gagasannya dengan bahasa sendiri.
v Memberi kesempatan
kepada siswa untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga menjadi lebih
kreatif dan imajinatif.
v Memberi kesempatan
kepada siswa untuk mencoba gagasan baru.
v Memberi pengalaman yang
berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki siswa.
v Mendorong siswa untuk
memikirkan perubahan gagasan mereka, dan
v Menciptakan lingkungan
belajar yang kondusif.
Dari beberapa pandangan
di atas, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran yang mengacu kepada teori belajar
konstruktivisme lebih menfokuskan pada kesuksesan siswa dalam mengorganisasikan
pengalaman mereka. Bukan kepatuhan siswa dalam refleksi atas apa yang telah
diperintahkan dan dilakukan oleh guru. Dengan kata lain, siswa lebih diutamakan
untuk mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan
akomodasi.
K.
Keunggulan dan Kelemahan Model Konstrutivisme
- Keunggulan
Model konstruktivisme
1.
Pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberikan
kesempatan kepada siswa untuk mengungkapkan gagasan secara eksplisit dengan
menggunakan bahasa siswa sendiri, berbagi gagasan dengan temannya, dan
mendorong siswa memberikan penjelasan tentang gagasannya.
2.
pembelajaran
berdasarkan konstruktivisme memberi pengalaman yang berhubungan dengan gagasan
yang telah dimiliki siswa atau rancangan kegiatan disesuaikan dengan gagasan
awal siswa agar siswa memperluas pengetahuan mereka tentang fenomena dan
memiliki kesempatan untuk merangkai fenomena, sehingga siswa terdorong untuk
membedakan dan memadukan gagasan tentang fenomena yang menantang siswa.
3.
Pembelajaran konstruktivisme memberi siswa kesempatan untuk
berpikir tentang pengalamannya. Ini dapat mendorong siswa berpikir kreatif,
imajinatif, mendorong refleksi tentang model dan teori, mengenalkan
gagasan-gagasanpada saat yang tepat.
4.
pembelajaran berdasarkan konstruktivisme memberi kesempatan
kepada siswa untuk mencoba gagasan baru agar siswa terdorong untuk memperoleh
kepercayaan diri dengan menggunakan berbagai konteks, baik yang telah dikenal
maupun yang baru dan akhirnya memotivasi siswa untuk menggunakan berbagai
strategi belajar.
5.
Pembelajaran Konstruktivisme mendorong siswa untuk
memikirkan perubahan gagasan merka setelah menyadari kemajuan mereka serta
memberi kesempatan siswa untuk mengidentifikasi perubahan gagasan mereka.
6.
Pembelajaran Konstruktivisme memberikan lingkungan belajar
yang kondusif yang mendukung siswa mengungkapkan gagasan, saling menyimak, dan menghindari
kesan selalu ada satu jawaban yang benar.
·
Kelemahan Model Konstruktivisme
Dalam bahasan kekurangan atau
kelemahan ini mungkin bisa kita lihat dalam proses belajarnya dimana peran guru
sebagai pendidik itu sepertinya kurang begitu mendukung.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
1. Belajar merupakan perubahan disposisi atau kecakapan
manusia yang berlangsung selama periode waktu tertentu, dan perubahan perilaku
tersebut tidak berasal dari proses pertumbuhan
2. belajar
menurut teori konstruktivisme bukanlah sekadar menghafal, akan tetapi proses
mengkonstruksi pengetahuan melalui pengalaman. Pengetahuan bukanlah hasil
”pemberian” dari orang lain seperti guru, akan tetapi hasil dari proses
mengkonstruksi yang dilakukan setiap individu
3. menurut
teori konstruktivisme Belajar lebih dari sekedar mengingat,belajar merupakan
sebuah proses kontruksi pengetahuan di dalam memori seseorang,setiap orang
memiliki konsep dalam dirinya sendiri terkait dengan suatu pengetahuan,dan Pengetahuan
tersebut dikontruksikan melalui interaksi dengan lingkungan
4. Strategi
yang dapat dilakukan pada model pembelajaran konstruktivisme ini adalah membuat
catatan,belajar kelompok,dan menggunakan metode PQ4R (Preview, Question, Read,
Reflect, Recite, dan Review)
5. Teori
belajar konstruktivisme cocok untuk dijadikan pedoman dalam pembelajaran pada
kurikulum 2013 ini karena teori belajar konstruktivisme ini menuntut siswa
untuk dapat kreatif dan inovatif dalam meciptakan sebuah konsepnya sendiri
terkait suatu pengetahuan.
B.
Saran
1. Teori
belajar konstruktivisme hendaknya banyak digunakan atau diaplikasikan oleh para
tenaga pendidik karena relevan dengan kurikulum 2013
2. Para
tenaga pendidik sebaiknya banyak mempelajari teori-teori dan strategi-strategi
pembelajaran agar dapat menciptakan sistem pembelajaran yang aktif,inovatif,dan
menarik.
DAFTAR
PUSTAKA
Rifa’i,Ahmad dan Catharina Tri Anni. 2012. Psikologi Pendidikan. Semarang : Unnes
Press
Tidak ada komentar:
Posting Komentar